MAKALAH KONFLIK SOSIAL PAPUA
Kata Pengantar
Alhamdulillah, puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada
kami,sehingga penulisbisa menyelesaikan tugas makalah ini dengan segala bentuk
kekurangan dan kelebihan.
Shalawat
serta salam tak lupa penulis hadiahkan kepada Nabi junjungan
alam, Muhammad SAW,karna beliau telah membawa kita dari alam
kegelapan hingga kealam yang berilmu pengetahuan,dengan dibawanya Saidinnul
Islam.
Makalah
yang diberi judul “KONFLIK SOSIAL DI PAPUA. Semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi kita semua.
Kritik
dan saran selalu saya nantikan demi perbaikan tugas tugas selanjutnya, semoga
makalah ini bisa menambah ilmu serta pengetahuan kita semua. Semoga kita semua
menjadi insan yang berilmu dan bisa memnafaatkan ilmu dengan sebaik mungkin.
Amiin.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………....................….…….……
1
Daftar isi ……………………………………………………………………..................….…….……
2
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………..................….…………..
3
A.1 Latar Belakang ……………………………………………............................………….
3
BAB II PEMBAHASAN
………………………………………………………………...................... 4
B.1 Penyebab konflik kekerasan sosial
di Papua .....…………………..............................…. 4
B.2 Sejarah Konflik Papua …..………………………………………..............................…..
6
B.3 Dampak dari konflik Papua ………………..…………………...................…….............
7
B.4 Upaya Penyelesaian Konflik di
Papua ……………..........….................…..….... ............8
B.5 Argumentasi Terhadap Konflik Papua
……………......…….............................…….…. 11
BAB III PENUTUP ……………………………………………………………...................………...12
C.1
Kesimpulan …………………………………...………………...............................…... 12
C.2 Saran …………………………………………………………...............................…….
12
Daftar Pustaka …………………………….………………………………...................…………….
13
BAB I
PENDAHULUAN
A.1 Latar
Belakang
Sudah lama Tanah Papua
menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal antar warga sipil,konflik
vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua
telahmengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum diatasi secara
tuntas. Masihadanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya tuntutan
Merdeka dan Referendum,serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora, dan
berlangsungnya aksi pengembalianUndang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua.Konflik yang belum diselesaikan ini sangat
mempengaruhi kadar relasi diantara orang asliPapua, orang Papua dengan penduduk
lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Disatu pihak, orang Papua
dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanyastigma
separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak
mempercayaiPemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama
lain ini, dialogkonstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan
orang Papua.Apabila berbagai masalah yang melatarbelakangi konflik ini tidak
dicarikan solusinya, makaPapua tetap menjadi tanah konflik. Korban akan terus
berjatuhan. Hal ini pada gilirannyaakan menghambat proses pembangunan yang
dilaksanakan di Tanah Papua.Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan
agama Kristen, Katolik, Islam, Hindudan Budha Provinsi Papua melancarkan
kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukandengan dengan moto: Papua Tanah
Damai (PTD). Dalam perkembangan selanjutnya, parapimpinan agama menjadikan
Papua Tanah Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depanTanah Papua yang
perlu diperjuangkan secara bersama oleh setiap orang yang hidup diTanah
Papua.Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam
dari setiaporang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua, kenyataan
memperlihatkan bahwabanyak orang belum merasa penting untuk melibatkan diri
dalam upaya menciptakanperdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua, baik yang
tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh dalam
kampanye perdamaian ini. Pada hal merekasebagai pemilik negeri ini sudah
semestinya memimpin-atau minimal terlibat dalam-berbagaiupaya untuk mewujudkan
perdamaian di tanah leluhurnya.Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi
secara aktif dalam upayamenciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin
memperbaharui tanah leluhurnya menjaditanah damai, dimana setiap orang yang
hidup diatasnya menikmat suatu kehidupan yangpenuh kedamaian.
BAB II
PEMBAHASAN
B.1 PENYEBAB KONFLIK SOSIAL PAPUA.
Konflik kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi sosial
yang timpang antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran yang datang
dari luar Papua, sebagai akibat dari adanya kekeliruan kebijakan pembangunan di
Papua yang berlangsung lama, sebagai berikut:
a.
Terjadinya Eksploitasi
Sumber Daya Alam (SDA) Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan,
berdasar fakta-fakta masyarakat Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, padahal semua konsekuensi
negatif pasti dipikul oleh mereka bukan oleh pengambil keputusan. SDA merupakan
sumber penghidupan utama bagi mereka dengan batas-batas pemilikan, pengakuan,
dan penghargaan yang jelas dan tegas di antara para pemegang hak adat.
Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan terasing di tanahnya sendiri.
Masyarakat Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi, karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi
kesempatan. Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan
transmigrasi telah mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi
keluarga. Masyarakat kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu
untuk bangunan, kayu api, rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber protein yang
mendukung kehidupan masyarakat lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat
bagi masyarakat. Eksploitasi tambang juga memberi dampak negatif yang besar
buat penduduk lokal. Sebagai contoh: kasus Freeport, limbah tailing, telah
mencemari sumber-sumber ekonomi seperti Moluska, sumber protein masyarakat
Kamoro-Sempan di Omawita.
b. Dominasi Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan Perlakuan yang kurang
tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang pemerintahan, dan
proses-proses politik. Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru, orang
Papua kurang diberikan peran dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama
selalu diberikan kepada orang luar dengan dalih orang Papua belum mampu.
Walaupun untuk sebagian peran, dalih itu mungkin ada benarnya, tetapi pada
umumnya untuk mencekal orang Papua. Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang
Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan tuduhan terhadap semua orang Papua
sebagai OPM. Dominasi masyarakat pendatang bukan hanya pada sektor pemerintahan
saja, tetapi juga pada sektor swasta. Pada kegiatan di sektor industri
manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) sebagai bahan
baku lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara lain
pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik
Pengalengan Ikan PT. Usaha Mina di Sorong. Sektor perbankan juga didominasi
oleh pekerja dari kaum pendatang.
c. Penyeragaman Identitas Budaya dan
Pemerintahan Lokal Secara singkat, pengembangan SDM justru tidak berpijak pada
pengetahuan dan kearifan lokal. Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang
Papua, tokoh seperti Arnold Ap berusaha untuk menggali dan mengembangkan
unsur-unsur budaya lokal. Tetapi, kelihatannya penguasa melalui aparat militer
melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai ancaman. Arnold Ap dibunuh dengan
cara yang melukai hati orang Papua khususnya dan kemanusiaan pada umumnya.
Dominasi dan penindasan tersebut, menjadikan identitas dan nasionalisme Papua
makin mantap menopang tuntutan Papua Merdeka.
d. Tindakan Represif oleh Militer
Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara lain
intimidasi, teror, penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan
dilakukan berkenaan dengan pengambilalihan hak-hak adat masyarakat Papua atas
SDA secara paksa untuk berbagai keperluan, seperti HPH, transmigrasi,
pertambangan, dan industri manufaktur maupun jasa wisata. Ketika penduduk asli
berusaha mempertahankan hak-haknya atas SDA mereka diintimidasi dan diteror.
Penyebab lainnya adalah:
Konflik
Papua memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal
lain di Indonesia. Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah
tertanam di dalam diri rakyat Papua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme
tersebutlah yang mendorong rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap
mereka, baik yang dilakukan Belanda maupun Indonesia. Nasionalisme Papua yang
mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong praja di
Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika
Belanda dan Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat
keduanya sebagai bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran ini yang
menyebabkan gerakan anti- Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua.
Kebijakan represif pada masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme ini,
namun justru memperkuatnya.
B.2 SEJARAH KONFLIK PAPUA
1960 - 2000
·
1966-67: pemboman
udara Pegunungan Arfak
·
1967:
Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di Ayamaru, Teminabuan
dan Inanuatan.
·
Mei 1970:
Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi melaporkan
melihat seorang wanita memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan pak bibi
bayi-diperkosa.
·
Jun 1971:
Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak Utara
dipaksa untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak.
·
Mei 1978:
Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk menyelamatkan desa
mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan batang besi panas
merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125 penduduk desa
maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
·
pertengahan
1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk 115 dari
desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang, desa,
taman makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa, dan
ternak dari kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman
makanan, dan hidup-stok Monemane. Dsb
2000- 2010
·
Pada
tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor dari
Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM
bertanggung jawab.
·
Pada
tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis,
beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
·
Pada
tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang dan
beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan menyerang sebuah pos
polisi dengan busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi bereaksi dan
membunuh seseorang.
·
Pada 24
Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT Freeport
McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung Jawab.
B.3 DAMPAK DARI KONFLIK PAPUA
Di Papua,
masalah separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bila situasi
keamanan terus memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas
dari NKRI. Tanda-tanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas.
Mereka saat ini ditengarai sudah memiliki sponsor yang siap mendukung
kemerdekaan wilayah di timur Indonesia ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat
siap untuk lepas dari Indonesia.
Maraknya aksi penembakan dan penghadangan oleh
kelompok separatis Papua telah meresahkan masyarakat Papua. Sasaran tembak kini
tidak hanya kepada aparat TNI dan Polisi, namun masyarakat umum serta karyawan
Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak mengherankan bila hampir tiap hari
terjadi penghadangan dan penembakan oleh orang tak dikenal yang diyakini banyak
orang adalah separatis Papua.
Penyebab
separatisme Papua yang lain adalah tidak meratanya distribusi sumber daya
ekonomi, sehingga meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya
tetap miskin. Tambang tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana
kapitalisme mengeksploitasi sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya. Potensi
konflik antar agama di Papua tinggi karena konflik yang bertikai menganggap
dirinya sebagai korban. Warga Papua asli merasa terancam dengan mengalir
masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan agama baru, dimana dalam jangka
panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran
Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan
di kedua belah pihak masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing
perkembangan di Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi pertanda lebih banyak
bentrokan yang akan terjadi. Perubahan dalam demografi adalah bagian dari
persoalan, tapi bahkan kalau besok para pendatang dari luar Papua disetop
datang, polarisasi antar agama mungkin akan terus berlanjut karena perkembangan
lain. Warga Papua sangat menyadari terjadinya penyerangan-penyerangan terhadap
tempat-tempat ibadah di daerah lain di Indonesia dan melihat Indonesia secara
keseluruhan bergerak menuju dukungan yang lebih banyak kepada ajaran agama.
B.4 UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL DI PAPUA
Hasil
eksplorasi terdapat 2 kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu:
a) Pendekatan Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan dengan
menggunakan kekuatan senjata atau sering dikenal dengan istilah pendekatan
keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk menumpas setiap bentuk
perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua yang
dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996. Kegiatan
itu dilakukan dengan menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama di daerah
perbatasan dengan Negara Papua New Guinea, sebagai Daerah Operasi Militer
(DOM).
b) Pendekatan Non kekerasan
Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka kegiatan utama yang menjadi tugas pokok
dari semua petugas Indonesia Papua menggantikan posisi petugas Belanda adalah
“meng-Indonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini dilakukan oleh lembaga
pemerintah seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan. Tema yang
digunakan adalah menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh
Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat Papua seperti
halnya rakyat Indonesia lainnya, miskin, tertindas, dan melarat.
Akan tetapi dalam kenyataannya kedua
kebijakan pemerintah dalam upaya menyelesaikan konflik kekerasan yang terjadi
di Papua tersebut berjalan tidak efektif atau tidak berhasil. Untuk itu ada
beberapa-beberapa hal yang seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah:
1. Hindari
untuk mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-jelas memiliki
agenda politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang sudah ada, dan
menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa para personil yang
bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak
2. Mengidentifikasi
pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar agama di tingkat
akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara para elit
yang seringkali tidak efektif.
3. Memastikan
bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan
agama dilakukan secara transparan dan diaudit secara independen,dimana
informasi mengenai jumlah dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah di
situs-situs atau di dokumen publik.
4. Menghindari
mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan eksklusivitas atau permusuhan
terhadap agama lain.
5. Memastikan
debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua dan dan
dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum
menyetujui pembagian daerah administratif lebih lanjut.
6. Menolak
peraturan daerah yang diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang
memarjinalisasikan orang papua.
7. Ketujuh,
Pemerintah harus memenuhi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang papua seperti kesehatan, pendidikan,
kesejahteraaan dan pelayanan publik.
8. Pemerintah
memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama rakyat Papua agar terciptanya
saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga Papua. Kesembilan, Pemerintah
harus mengakui secara jujur bahwa selama ini bertindak dengan salah dalam
mengatasi konflik yang ada di Papua demi terciptanya rekonsiliasi.
SECARA TERITORIS DIKENAL 3 SARANA UPAYA PENYELESAIAN
KONFLIK, YAITU :
Pertama, Konsiliasi, umumnya dilakukan melalui lembaga
legislatif atau parlemen yang bermaksud memberikan kesempatan kepada semua
pihak yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan secara terbuka
masalah yang terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau kompromi bersama.
Kedua, Mediasi mengajak atau mendorong kepada para pihak
yang terlibat untuk kesepakatan melalui nasihat dari pihak ketiga yang
disetujui.
Ketiga, Arbitran, para pihak yang terlibat bersepakat untuk
mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan keputusan yang bersifat
legal sebagai jalan keluar dari konflik.
Jika dilihat dari aspek substansi,
terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh para pihak dalam
proses penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Penghindaran, yaitu penyelesaian
yang diharapkan timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu penyelesaian
melalui cara paksa atau dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi
militer. Ketiga, Hukum, yaitu penyelesaian konflik melalui proses arbritase,
pencarian fakta yang mengikat, proses legislasi, dan pembuatan kebijakan
pejabat publik, serta Keempat, kesepakatan, yaitu penyelesaian oleh para pihak
melalui proses negosiasi, mediasi, dan konsiliasi
B.5 ARGUMENTASI TERHADAP KONFLIK DI PAPUA
Dari
semua referensi dan catatan-catatan tentang masalah-masalah konflik yang
terjadi di Tanah Papua dahulu hingga sekarang ini, kami dapat memahami latar
belakang serta faktor penyebab terjadinya berbagai konflik kekerasan di tanah
Papua. Umumnya kekerasan di Papua terkait dengan konflik antar warga dengan
suku, separatisme, dan kriminalitas. Proses dan hasil pembangunan di Papua
selama otonomi khusus belum dirasakan sepenuhnya oleh orang asli Papua,
terutama di wilayah pedalaman. Sebagian besar masih berada di bawah garis
kemiskinan dan terpinggirkan. Bahkan kondisi pembangunan Papua masih kalah jauh
dengan kota-kota kelas dua di wilayah Pulau Jawa.Warga Papua merasa tidak
dihargai dan diabaikan.
Selain
itu, minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua dan Papua
Barat, kelaparan dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta
rendahnya tingkat pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur itu merupakan
faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan konflik.
Tetapi di sisi lain penyebab konflik di Papua,
OPM dan sejenisnya adalah sebagai salah satu penyebab konflik tsb. Tujuan
mereka dalah menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan daerah serta pihak
internasional bahwa Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini jelas-jelas
bertujuan menggagalkan ide dan keinginan luhur orang asli Papua untuk berdialog
atau berdiskusi dengan pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.
Selain itu, banyaknya peristiwa kekrasan dan
konflik yang ada di Papua menandakan bahwa institusi kepolisian yang ada di
Tanah Papua beserta jajaran Polres-nya di seluruh tanah papua seringkali tidak
mampu mengungkapkan kasus-kasus kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua
tersebut. Di tambah lagi polisi di daerah ini susah sekali mendapatkan barang
bukti yang bisa menjadi petunjuk penting dalam mengungkapkan sebab dan siapa
pelaku dari setiap kasus tersebut.
Selama
kesenjangan itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap
membakar masyarakat di Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak
akan benar-benar memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut
kami masyarakat akan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut
adalah sebagai akal-akalan mereka saja.
Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini
mendorong pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait lainnya untuk mengupayakan
solusi yang komprehensif dengan melakukan pembangunan secara intensif dan
berkesinambungan di tanah Papua tersebut, kondisi ini bisa dijaga oleh
pemerintah setempat dan pemangku kepentingan dengan cara bersinergi atau
berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan cara seperti itu kami yakin sedikit
demi sedikit konflik yang ada di bumi cendrawasih tersebut akan memudar, bahkan
mungkin masyarakat akan merasakan kmakmuran perhatian dari pemerintah terhadap
tempat tinggalnya.
Kami harap pemerintah dapat melaksanakan atau
merealisasikan apa yang menjadi angan- angan dari kita semua khusunya kami,
mengenai konflik yang terus menerus terjadi di Papua.
BAB III
PENUTUP
C.1 Kesimpulan
Kewenangan
Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelesaian konflik sangatlah besar
peranannya sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam penyelesaian
konflik tersebut.
Yang
perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat besar sehingga
perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat
jangan sampai terjadi berbagai kebijakan yang dapat mengakibatkan terjadinya
konflik yang terjadi di setiap kabupaten atau kota yang ada di Indonesia.
Pemerintah Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan sehingga konflik yang
terjadi di papua dapat diselesaikan sacara baik tanpa menggunakan kekerasan
dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah
Berbagai konflik horizontal yang terjadi
maupun konflik politik vertikal yang dimanifestasikan dengan tuntutan Papua
merdeka sebagai reaksi atas pelaksanaan PEPERA yang tidak demokratis maupun
atas dominasi pusat pada daerah, dalam kurun waktu lama dilakukan melalui
kebijakan dalam mengelola konflik yang represif dan kontra produktif, yaitu
dengan cara mengirim pasukan militer dan merekayasa para tokoh atau elit
masyarakat untuk berdamai secara seremonial.
C.2 Saran
Konflik
yang terjadi di papua hanya sebagian kecil saja yang terjadi di negeri ini maka
dari pada itu di harapkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
fleksibel dalam mengeluarkan kebijakan jangan hanya berpihak ke salah satu
daerah saja karena akan menimbulkan kecemburuan sosial tiap daerah sehingga
mengakibatkan konflik yang berkepanjangan.
DAFTAR PUSTAKA