Sabtu, 08 Oktober 2016

Konflik Sosial Papua


MAKALAH KONFLIK SOSIAL PAPUA











 Kata Pengantar

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kami,sehingga penulisbisa menyelesaikan tugas makalah ini dengan segala bentuk kekurangan dan kelebihan.
            Shalawat serta salam tak lupa penulis hadiahkan kepada Nabi junjungan alam,  Muhammad SAW,karna beliau telah membawa kita dari alam kegelapan hingga kealam yang berilmu pengetahuan,dengan dibawanya Saidinnul Islam.
            Makalah yang diberi judul “KONFLIK SOSIAL DI PAPUA. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
            Kritik dan saran selalu saya nantikan demi perbaikan tugas tugas selanjutnya, semoga makalah ini bisa menambah ilmu serta pengetahuan kita semua. Semoga kita semua menjadi insan yang berilmu dan bisa memnafaatkan ilmu dengan sebaik mungkin. Amiin.





































DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………....................….…….…… 1
Daftar isi ……………………………………………………………………..................….…….…… 2

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………..................….………….. 3
A.1 Latar Belakang ……………………………………………............................…………. 3

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………...................... 4
            B.1 Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua .....…………………..............................…. 4
            B.2 Sejarah Konflik Papua …..………………………………………..............................….. 6
B.3 Dampak dari konflik Papua ………………..…………………...................……............. 7
            B.4 Upaya Penyelesaian Konflik di Papua ……………..........….................…..….... ............8
B.5 Argumentasi Terhadap Konflik Papua ……………......…….............................…….…. 11

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………...................………...12
C.1  Kesimpulan …………………………………...………………...............................…... 12
C.2 Saran …………………………………………………………...............................……. 12

Daftar Pustaka …………………………….………………………………...................……………. 13

































BAB I
PENDAHULUAN

A.1 Latar Belakang

Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal antar warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua telahmengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum diatasi secara tuntas. Masihadanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya tuntutan Merdeka dan Referendum,serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalianUndang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.Konflik yang belum diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asliPapua, orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Disatu pihak, orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanyastigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak mempercayaiPemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialogkonstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua.Apabila berbagai masalah yang melatarbelakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, makaPapua tetap menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannyaakan menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua.Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam, Hindudan Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukandengan dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD). Dalam perkembangan selanjutnya, parapimpinan agama menjadikan Papua Tanah Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depanTanah Papua yang perlu diperjuangkan secara bersama oleh setiap orang yang hidup diTanah Papua.Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam dari setiaporang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua, kenyataan memperlihatkan bahwabanyak orang belum merasa penting untuk melibatkan diri dalam upaya menciptakanperdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua, baik yang tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh dalam kampanye perdamaian ini. Pada hal merekasebagai pemilik negeri ini sudah semestinya memimpin-atau minimal terlibat dalam-berbagaiupaya untuk mewujudkan perdamaian di tanah leluhurnya.Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi secara aktif dalam upayamenciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin memperbaharui tanah leluhurnya menjaditanah damai, dimana setiap orang yang hidup diatasnya menikmat suatu kehidupan yangpenuh kedamaian.











BAB II
 PEMBAHASAN

B.1 PENYEBAB KONFLIK SOSIAL PAPUA.

Konflik kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi sosial yang timpang antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran yang datang dari luar Papua, sebagai akibat dari adanya kekeliruan kebijakan pembangunan di Papua yang berlangsung lama, sebagai berikut:

a.       Terjadinya Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan, berdasar fakta-fakta masyarakat Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, padahal semua konsekuensi negatif pasti dipikul oleh mereka bukan oleh pengambil keputusan. SDA merupakan sumber penghidupan utama bagi mereka dengan batas-batas pemilikan, pengakuan, dan penghargaan yang jelas dan tegas di antara para pemegang hak adat. Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan terasing di tanahnya sendiri. Masyarakat Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi kesempatan. Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan transmigrasi telah mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi keluarga. Masyarakat kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan, kayu api, rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber protein yang mendukung kehidupan masyarakat lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat. Eksploitasi tambang juga memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal. Sebagai contoh: kasus Freeport, limbah tailing, telah mencemari sumber-sumber ekonomi seperti Moluska, sumber protein masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita.
b.      Dominasi Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan Perlakuan yang kurang tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang pemerintahan, dan proses-proses politik. Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru, orang Papua kurang diberikan peran dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu diberikan kepada orang luar dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk sebagian peran, dalih itu mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang Papua. Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan tuduhan terhadap semua orang Papua sebagai OPM. Dominasi masyarakat pendatang bukan hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada sektor swasta. Pada kegiatan di sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) sebagai bahan baku lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara lain pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik Pengalengan Ikan PT. Usaha Mina di Sorong. Sektor perbankan juga didominasi oleh pekerja dari kaum pendatang.

c.   Penyeragaman Identitas Budaya dan Pemerintahan Lokal Secara singkat, pengembangan SDM justru tidak berpijak pada pengetahuan dan kearifan lokal. Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap berusaha untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi, kelihatannya penguasa melalui aparat militer melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai ancaman. Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai hati orang Papua khususnya dan kemanusiaan pada umumnya. Dominasi dan penindasan tersebut, menjadikan identitas dan nasionalisme Papua makin mantap menopang tuntutan Papua Merdeka.
d.   Tindakan Represif oleh Militer Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara lain intimidasi, teror, penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan dilakukan berkenaan dengan pengambilalihan hak-hak adat masyarakat Papua atas SDA secara paksa untuk berbagai keperluan, seperti HPH, transmigrasi, pertambangan, dan industri manufaktur maupun jasa wisata. Ketika penduduk asli berusaha mempertahankan hak-haknya atas SDA mereka diintimidasi dan diteror.

Penyebab lainnya adalah:

Konflik Papua memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal lain di Indonesia. Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam diri rakyat Papua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yang mendorong rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan Belanda maupun Indonesia. Nasionalisme Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong praja di Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika Belanda dan Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran ini yang menyebabkan gerakan anti- Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua. Kebijakan represif pada masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme ini, namun justru memperkuatnya.














B.2 SEJARAH KONFLIK PAPUA
1960 - 2000

·         1966-67: pemboman udara Pegunungan Arfak
·         1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di Ayamaru, Teminabuan dan Inanuatan.
·         Mei 1970: Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi melaporkan melihat seorang wanita memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan pak bibi bayi-diperkosa.
·         Jun 1971: Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak Utara dipaksa untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak.
·         Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125 penduduk desa maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
·         pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk 115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang, desa, taman makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa, dan ternak dari kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan hidup-stok Monemane. Dsb

2000- 2010

·         Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor dari Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM bertanggung jawab.
·         Pada tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis, beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
·         Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang dan beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan menyerang sebuah pos polisi dengan busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi bereaksi dan membunuh seseorang.
·         Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung Jawab.







B.3 DAMPAK DARI KONFLIK PAPUA

Di Papua, masalah separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bila situasi keamanan terus memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas dari NKRI. Tanda-tanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas. Mereka saat ini ditengarai sudah memiliki sponsor yang siap mendukung kemerdekaan wilayah di timur Indonesia ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat siap untuk lepas dari Indonesia.
 Maraknya aksi penembakan dan penghadangan oleh kelompok separatis Papua telah meresahkan masyarakat Papua. Sasaran tembak kini tidak hanya kepada aparat TNI dan Polisi, namun masyarakat umum serta karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak mengherankan bila hampir tiap hari terjadi penghadangan dan penembakan oleh orang tak dikenal yang diyakini banyak orang adalah separatis Papua.
Penyebab separatisme Papua yang lain adalah tidak meratanya distribusi sumber daya ekonomi, sehingga meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya tetap miskin. Tambang tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme mengeksploitasi sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya. Potensi konflik antar agama di Papua tinggi karena konflik yang bertikai menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua asli merasa terancam dengan mengalir masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan agama baru, dimana dalam jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran

 Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah pihak masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing perkembangan di Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi pertanda lebih banyak bentrokan yang akan terjadi. Perubahan dalam demografi adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan kalau besok para pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar agama mungkin akan terus berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat menyadari terjadinya penyerangan-penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di daerah lain di Indonesia dan melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju dukungan yang lebih banyak kepada ajaran agama.


















B.4 UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL DI PAPUA

Hasil eksplorasi terdapat 2 kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu:

a)      Pendekatan Kekerasan

Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata atau sering dikenal dengan istilah pendekatan keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk menumpas setiap bentuk perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua yang dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996. Kegiatan itu dilakukan dengan menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama di daerah perbatasan dengan Negara Papua New Guinea, sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
b)      Pendekatan Non kekerasan

Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka kegiatan utama yang menjadi tugas pokok dari semua petugas Indonesia Papua menggantikan posisi petugas Belanda adalah “meng-Indonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan. Tema yang digunakan adalah menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat Papua seperti halnya rakyat Indonesia lainnya, miskin, tertindas, dan melarat.

Akan tetapi dalam kenyataannya kedua kebijakan pemerintah dalam upaya menyelesaikan konflik kekerasan yang terjadi di Papua tersebut berjalan tidak efektif atau tidak berhasil. Untuk itu ada beberapa-beberapa hal yang seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah:

1.  Hindari untuk mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-jelas memiliki agenda politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang sudah ada, dan menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa para personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak
2. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar agama di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara para elit yang seringkali tidak efektif. 
3. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit secara independen,dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah di situs-situs atau di dokumen publik.
4. Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain.
5. Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua dan dan dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum menyetujui pembagian daerah administratif lebih lanjut.
6. Menolak peraturan daerah yang diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang memarjinalisasikan orang papua.

7. Ketujuh, Pemerintah harus memenuhi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang papua seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraaan dan pelayanan publik.   
8. Pemerintah memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama rakyat Papua agar terciptanya saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga Papua. Kesembilan, Pemerintah harus mengakui secara jujur bahwa selama ini bertindak dengan salah dalam mengatasi konflik yang ada di Papua demi terciptanya rekonsiliasi.










































SECARA TERITORIS DIKENAL 3 SARANA UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK, YAITU :

Pertama, Konsiliasi, umumnya dilakukan melalui lembaga legislatif atau parlemen yang bermaksud memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan secara terbuka masalah yang terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau kompromi bersama.
Kedua, Mediasi mengajak atau mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk kesepakatan melalui nasihat dari pihak ketiga yang disetujui.
Ketiga, Arbitran, para pihak yang terlibat bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik.


Jika dilihat dari aspek substansi, terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh para pihak dalam proses penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Penghindaran, yaitu penyelesaian yang diharapkan timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu penyelesaian melalui cara paksa atau dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi militer. Ketiga, Hukum, yaitu penyelesaian konflik melalui proses arbritase, pencarian fakta yang mengikat, proses legislasi, dan pembuatan kebijakan pejabat publik, serta Keempat, kesepakatan, yaitu penyelesaian oleh para pihak melalui proses negosiasi, mediasi, dan konsiliasi




























B.5 ARGUMENTASI TERHADAP KONFLIK DI PAPUA

            Dari semua referensi dan catatan-catatan tentang masalah-masalah konflik yang terjadi di Tanah Papua dahulu hingga sekarang ini, kami dapat memahami latar belakang serta faktor penyebab terjadinya berbagai konflik kekerasan di tanah Papua. Umumnya kekerasan di Papua terkait dengan konflik antar warga dengan suku, separatisme, dan kriminalitas. Proses dan hasil pembangunan di Papua selama otonomi khusus belum dirasakan sepenuhnya oleh orang asli Papua, terutama di wilayah pedalaman. Sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan dan terpinggirkan. Bahkan kondisi pembangunan Papua masih kalah jauh dengan kota-kota kelas dua di wilayah Pulau Jawa.Warga Papua merasa tidak dihargai dan diabaikan.
Selain itu, minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua dan Papua Barat, kelaparan dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta rendahnya tingkat pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur itu merupakan faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan konflik.
 Tetapi di sisi lain penyebab konflik di Papua, OPM dan sejenisnya adalah sebagai salah satu penyebab konflik tsb. Tujuan mereka dalah menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan daerah serta pihak internasional bahwa Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini jelas-jelas bertujuan menggagalkan ide dan keinginan luhur orang asli Papua untuk berdialog atau berdiskusi dengan pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.
 Selain itu, banyaknya peristiwa kekrasan dan konflik yang ada di Papua menandakan bahwa institusi kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta jajaran Polres-nya di seluruh tanah papua seringkali tidak mampu mengungkapkan kasus-kasus kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua tersebut. Di tambah lagi polisi di daerah ini susah sekali mendapatkan barang bukti yang bisa menjadi petunjuk penting dalam mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari setiap kasus tersebut.
Selama kesenjangan itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap membakar masyarakat di Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak akan benar-benar memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut kami masyarakat akan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah sebagai akal-akalan mereka saja.
 Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait lainnya untuk mengupayakan solusi yang komprehensif dengan melakukan pembangunan secara intensif dan berkesinambungan di tanah Papua tersebut, kondisi ini bisa dijaga oleh pemerintah setempat dan pemangku kepentingan dengan cara bersinergi atau berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan cara seperti itu kami yakin sedikit demi sedikit konflik yang ada di bumi cendrawasih tersebut akan memudar, bahkan mungkin masyarakat akan merasakan kmakmuran perhatian dari pemerintah terhadap tempat tinggalnya.
 Kami harap pemerintah dapat melaksanakan atau merealisasikan apa yang menjadi angan- angan dari kita semua khusunya kami, mengenai konflik yang terus menerus terjadi di Papua.




BAB III
PENUTUP
C.1 Kesimpulan

Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelesaian konflik sangatlah besar peranannya sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam penyelesaian konflik tersebut.

Yang perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat besar sehingga perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat jangan sampai terjadi berbagai kebijakan yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik yang terjadi di setiap kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan sehingga konflik yang terjadi di papua dapat diselesaikan sacara baik tanpa menggunakan kekerasan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah

 Berbagai konflik horizontal yang terjadi maupun konflik politik vertikal yang dimanifestasikan dengan tuntutan Papua merdeka sebagai reaksi atas pelaksanaan PEPERA yang tidak demokratis maupun atas dominasi pusat pada daerah, dalam kurun waktu lama dilakukan melalui kebijakan dalam mengelola konflik yang represif dan kontra produktif, yaitu dengan cara mengirim pasukan militer dan merekayasa para tokoh atau elit masyarakat untuk berdamai secara seremonial.


C.2 Saran

Konflik yang terjadi di papua hanya sebagian kecil saja yang terjadi di negeri ini maka dari pada itu di harapkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus fleksibel dalam mengeluarkan kebijakan jangan hanya berpihak ke salah satu daerah saja karena akan menimbulkan kecemburuan sosial tiap daerah sehingga mengakibatkan konflik yang berkepanjangan.




















DAFTAR PUSTAKA